Muri, S.Pd, M.Si |
Berbicara masalah guru, pasti berkaitan dengan cara mengajar
sedangkan Mengajar tidak hanya mentransferkan ilmu saja, melainkan juga sikap
dan perilaku (pendidikan karakter) sehingga bisa diteladani oleh para siswa. Di
sini seorang guru harus menjadi role of model bagi para siswa.
Mengajar juga berarti mendidik, mengarahkan dan menuntun para
siswa berjalan pada koridor yang sesuai dengan aturan yang sudah disepakati
secara bersama. Tentu kita pernah mendengar komentar lepas bahwa guru adalah
orang tua kedua dari para siswa di sekolah. Karena ia adalah orang tua, maka
rasa kasih sayang harus dimainkan oleh seorang guru di lingkungan sekolah.
Lebih lanjut, guru mengajar tidak serta merta memposisikan
diri sebagai tokoh yang otoriter. Menganggap diri yang paling benar dan sangat
kaku bahkan rigid untuk menerima saran dari para siswa. Guru dalam tugasnya
sebagai pengajar harus siap dan bersedia untuk menerima kritikan. Di sinilah
letak kebijaksanaan seorang guru. Bahkan pada titik inilah konsep guru belajar
diterapkan. Seorang guru memiliki sikap lapang dada dan kemauan kuat untuk
belajar dari orang lain, khususnya dari para siswa.
Kesediaan untuk belajar dari orang lain (siswa) mencerminkan
adanya pendidikan partisipatif dalam ruang sekolah. Artinya seorang guru tidak
hanya menjadi pengajar tetapi juga siap untuk diajar. Terkait hal ini, baiklah
kita mengutip kata-kata dari Albert Einstein yang menyatakan bahwa: di dunia
ini tidak ada orang yang bodoh dan yang pintar. Yang ada hanyalah orang yang
lebih dahulu tahu dan yang kemudian tahu.
Apa yang saya uraikan di atas merupakan sesuatu yang
diidealkan untuk dilakukan oleh seorang guru. Tetapi dalam prakteknya memang
sulit. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor:
Pertama, adanya sikap gengsi
yang ditampilkan oleh seorang guru. Gengsi dalam arti tidak mau belajar dari
orang lain, dalam konteks ini adalah siswa.
Kedua, ada perasaan takut yang dialami oleh para siswa untuk
menyampaikan gagasan atau pendapat tatkala gurunya salah atau keliru
menjelaskan sesuatu. Perasaan takut ini juga sebenarnya tidak terlepas dari
konstruksi sosial yang melekat dalam diri siswa tentang sosok guru yang sangat
ditakuti. Atau pun juga perasaan takut lainnya seperti tidak mendapatkan nilai
baik jika saya memprotes guru. Ini merupakan bentuk ketakutan yang terkontaminasi
dalam diri seorang siswa.
Untuk bisa keluar dari zona atau situasi tersebut, sosok guru
harus melihat anak didiknya sebagai teman. Teman dalam artian saling berbagi
ilmu, menghargai pendapat dan bersedia untuk mengkritik dan dikritik. Di samping
itu, seorang guru harus berani untuk memposisikan diri bukan hanya sebagai
pengajar melainkan juga menjadi pelajar bagi para siswa.
Hubungan ideal seperti ini bertujuan untuk mengurangi gap
atau kesenjangan dalam hal interaksi antara guru dan murid. Guru mengajar dan
guru belajar merupakan realitas yang sangat ideal untuk dipraktekan di sekolah
0 komentar:
Posting Komentar